Kadang melangkah ke depan, kita
harus menoleh sedikit ke belakang, bukan untuk menyesali apa yang terjadi.
Tetapi.. hanya untuk mengingatkan agar kita tidak melakukan kesalahan yang
sama, karena pengalaman adalah guru paling berharga.
Bila hidayah ada pada
genggamanmu, maka jangan biarkan lepas begitu saja, karena sangat sulit untuk
meraihnya kembali.
Kuawali kisah ini dengan...
kisah di bulan Juni pada tahun 2000.
Ujian akhir tahun telah berlalu,
seharusnya menjadi salah satu momen paling membahagiakan dalam hidupku.
Kuliah di fakultas kedokteran
adalah impian terbesarku, tetapi karena tersandung masalah biaya, mau tidak mau
aku harus mengubur dalam keinginan tersebut.
Syukurlah...meskipun usiaku masih
belasan dan belum menyandang titel sarjana, sebagai tenaga medis saat ini tidak
terlalu sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Aku mulai bekerja disalah satu
klinik dokter di luar kota Makasar, tepatnya di kota Pare-pare.
Sebenarnya aku menerima tawaran
untuk bekerja di luar kota Makasar, semata-mata karena ingin lepas dari
pantauan keluarga.
Mengingat selama ini, sekecil
apapun masalah yang aku hadapi, merekalah yang mengurus dan menyelesaikan.
Orang tuaku memberikan restu
karena di sana aku tinggal tidak sendiri. Aku tinggal di rumah dokter, yang
sekaligus dijadikan tempat praktek.
Walaupun terbilang baru dan
sebagai karyawan termuda, tetapi karena aku sering berkomunikasi diluar jam
kerja, otomatis hubunganku dengan dokter yang kesehariannya ku panggil bapak,
lebih akrab dibanding dengan karyawan lain. Tak heran, mereka menyebutku..,
anak emasnya bapak.
Sikap ibu padaku mulai merubah..,
dingin dan tak bersahabat. Rasanya terlalu dini untuk menyimpulkan, tetapi
cukuplah bagiku untuk memahami, bahwa ibu kurang suka perlakuan bapak terhadap
diriku, yang menurut beliau terlalu berlebihan.
Astaghfirullah...gelagat yang
kurang baik itulah yang membuatku nekat mencuri waktu untuk mencari kontrakan
saat ibu dan bapak tak berada di rumah.
Tak ku sangka justru ini malah
menyurut kemarahan ibu. Beliau mengusirku dari rumahnya. Sungguh...ini kali
pertama aku menghadapi masalah tanpa dukungan dari keluarga.
Dalam dua hari ini aku harus
mendapatkan kontrakan seperti yang ibu sampaikan kemarin. Syukurlah...ada rekan
kerja yang berbaik hati, yang mau menampungku untuk sementara waktu.
“Nak..maaf ya, tadi ibu pesan kalau kamu
datang, tidak usah masuk, biarkan bapak saja yang ambilkan barang-barangnya.”
Aku hanya terpaku mendengarkan ucapan lirih dari pak Karim, satpam yang
berkerja di rumah ibu.
Ya Allah...begitu marahnyakah ibu
padaku.
Hari-hari selanjutnya ibu tak
pernah mau bicara padaku, dan memperlakukan peraturannya bagiku kurang
bijaksana, karena tidak diperlakukan pada pegawai lainnya.
Sehabis jam kerja...dijemput atau
tidak, aku harus menunggu di luar pagar, sekalipun itu sudah jam 1 malam.
Tidak tahan dengan sikap ibu, aku
bermaksud untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku.
“Kalau kamu merasa benar, jangan
tunjukkan sikap bersalah, kamu bekerja untuk bapak, bukan untuk ibu.” Itulah
kata-kata bapak membangun semangatku.
Walaupun bapak tidak pernah
membelaku di depan ibu, setidaknya bapak tidak menganggapku dipihak yang salah.
Ku putuskan untuk tetap bekerja.
Rena sahabatku semasa SMP
ternyata kuliah di kota itu juga, dia masih seperti yang dulu...ramah, supel,
dan tomboi.
Darinya aku mendapatkan banyak teman, yah...walaupun
semuanya hampir laki-laki.
Entah apa yang terjadi kalau
orang tuaku tahu, dengan siapa aku bergaul di sini.
Aku tidak beranggapan bahwa saat
itu aku salah memilih teman, karena aku tahu mereka.
Teman-temanku hanyalah remaja
belasan tahun, yang lepas dari pantauan keluarga, dan terjebak dalam lingkungan
yang tidak mendukung.
Kadang aku miris melihat mereka
diusia belia sudah tidak asing lagi dengan minuman keras, merokok, dan
pergaulan yang lumayan bebas.
Syukurlah, aku masih dibekali
dasar-dasar agama, sehingga tidak terlalu terjerumus dalam lingkaran tersebut.
Sebut saja namanya Indra, teman
dekatku saat itu. Walaupun Indra memiliki kelebihan dari segi fisik, tetapi ia
selalu psimis dalam menghadapi hidupnya.
Ia tidak pernah percaya pada
dirinya sendiri, padahal yang ku tahu, aku hanyalah sekian dari banyak gadis
yang ingin menjadi teman dekatnya.
Sekali waktu Indra mengajakku ke
rumahnya dan mengenalkan aku pada ibunya.
Kepadaku...ibunya banyak
bercerita tentang Indra, tentang keluarganya yang hidup pas-pasan, keluarganya
yang tidak pernah harmonis, hubungan Indra yang kurang baik dengan ayahnya
sendiri, dan bebannya sebagai anak sulung yang merasa mempunyai tanggung jawab
terhadap adik-adiknya.
Aku mulai bersimpati kepadanya.
Setahun sudah keberadaanku di
kota Pare-pare. Paman datang menjemputku. Paman ingin aku kembali ke kota
Makasar, agar rencanaku kuliah sambil bekerja dapat terlaksana di tahun ini.
Aku bersikeras tetap tinggal di
kota Pare-pare, tetapi paman terus membujukku, dan pada akhirnya memaksaku
untuk kembali ke Makasar.
Penyakit lamaku kambuh
lagi...sakit lambung.
Apa bungkin karena nafsu makan
yang naik beberapa lipat dari biasanya. Bagaimana tidak, saat semua orang
terlelap, justru aku mengendap-endap seperti pencuri di rumah sendiri, hanya
untuk menyalurkan nafsu makanku yang tidak terkendali.
Walau demikian...berat badanku
justru semakin merosot. Aktivitasku mulai terganggu, karena sakit kepala yang
kerap mendera, linglung, dan susah berkonsentrasi.
Sakitnya menjadi-jadi bila sore
menjelang, bahkan aku dibuatnya pingsan.
Jarang...bahkan hampir tidak
pernah lagi aku mendengar suara adzan maghrib, entah itu karena terlelap atau
pingsan, yang jelas aku baru terbangun bila malam menjelang. Takut...dan
khawatir.
Saat aku sadari menstruasiku juga
terganggu, ku beranikan diri berkonsultasi ke dokter. Dari dokter penyakit
dalam, hingga dokter kandungan telah ku cuba. Tetapi hasilnya nihil. Aku
dinyatakan sehat wal afiyat.
Belum sembuh sakit perut dan
kepala...kini giliran tulang dan persendianku.
Kadang aku tidak dapat berjalan,
layaknya orang lumpuh. Dari pemeriksaan labolatorium, hasilnya tetap sama, aku
baik-baik saja.
Putus asa dan tidak tahu harus
bagaimana lagi. Bukannya membuatku berserah diri kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, malah satu persatu kewajibanku sebagai seorang muslimah aku abaikan.
“Percuma aku shalat, toh Allah
tidak pernah sayang padaku.” Begitulah dalil yang selalu aku jadikan tameng
untuk menghibur dari kewajibanku.
Astaghfirullah...na’udzubillah...tsuma
na’udzubillah.
Aku mulai akrab dengan seorang
teman yang beragama Katolik, yang sering memintaku untuk mengantarkannya ke
butik perlengkapan gereja.
Sering ia menarik perhatianku
dengan selebaranselebaran berisi misi gereja. Tak segan-segan pula...ia
menampakkan rutinitas ibadahnya di depanku, tanpa rasa canggung sedikit pun.
Hidupku semakin terpuruk,
manakala hubunganku dengan atasan tak seharmonis dulu.
Beliau begitu perhatian untuk
mencarikan pasangan hidup untukku, tetapi aku selalu menolaknya, tanpa
memberikan alasan yang jelas.
Hidupku dalam ketidakpastian,
hanya untuk mempertahankan hubunganku dengan Indra, sementara Indra menghilang
tak tahu rimbanya.
Entah sejak kapan aku sering
mengalami ketindisan dan kadang kala berlangsung semalaman suntuk.
Gangguan itu tidak berhenti,
walaupun aku sudah berusaha bangun dan tidur dalam posisi duduk.
Sering aku membangunkan seisi
rumah, karena meracau saat tidur, sehingga tidak ada seseorang pun yang mau
tidur denganku.
Tidak hanya malam itu saja, di
siang bolong pun...terkadang aku mengalaminya.
Jadilah aku terkena insomnia,
bukan karena tidak bisa tidur...tetapi lebih karena takut tidur.
“Sekarang kamu banyak berubah.”
Suatu ketika Fira temanku menegurku.
Entahlah...aku merasa sangat
terganggu saat ada lelaki yang berusaha mengenalku lebih jauh...aku tidak
suka...aku benci.
Tuhan...ada apa denganku.
Begitu banyak perubahan ganjil
pada diriku, membuat keluarga dan teman-teman yang sangat peduli padaku
menyarankan untuk berobat kepada para normal. Tetapi Allah ternyata begitu
sayang padaku, karena itu tidak pernah terlaksana.
Apa benar aku terkena santet.
Kata orang, santet biasanya lewat makanan atau menggunakan media dari tubuh
atau barang yang pernah dipakai oleh orang yang akan disantet.
Tetapi aku tidak pernah punya
barang yang ada pada Indra, kecuali sapu tangan yang pernah tertinggal di
rumahnya.
Memang... Indra pernah beberapa
kali mencabut rambutku, yang saat kutanya untuk apa, ia malah bercanda dan mengatakan,
bahwa untuk mengikatku.
Aku ingat saat terakhir bertemu
Indra, ia menyuguhkan untukku minuman yang rasanya amis, tetapi saat aku
bertanya kepadanya tentang minuman itu, ia malah menyuruhku untuk
menghabiskannya.
Suatu ketika Indra juga pernah
mengatakan, bahwa aku tidak akan menikah kalau bukan dengannya.
Aahhh...kutepis semua prasangka
buruk itu, tidak mungkin Indra berbuat setega itu padaku.
Libur lebaran tiba. Dalam hati
aku berjanji... ini kali terakhir aku menunggunya. Tidak ku sangka Indra
benar-benar datang dengan membawa banyak kejutan padaku. Rambut gondrong...,
hidung telinga ditindik..., kaki tangan diikat dengan gelang yang lebih
menyerupai jimat.
Perubahan yang tidak pernah ku
bayangkan dan tentu saja tidak pernah ku inginkan.
Ya Tuhan...inikah laki-laki
pilihanku yang ku harap kelak memimpin rumah tanggaku.
Memangnya kamu mau kasih makan
apa...pakai batu. Tanpa sadar ucapan itu terlontar dari bibirku, saat ia
mengungkapkan keinginannya untuk menikahiku.
Dengan perasaan tidak menentu,
aku kembali ke Kota Makasar. Apa yang ku rasakan, mungkin begitu pula yang
dirasakan Indra, kecewa... dan sakit hati.
Mama membujukku untuk mencoba
terapi ruqyah. Sebenarnya aku sering mendengarkan tentang terapi ruqyah, tetapi
pemahamanku tentang itu amatlah dangkal.
Kupikir terapi sejenis itu
hanyalah untuk mereka yang kesurupan dan sejenis terkena sihir saja.
Kuturuti saja keinginan mama
hanya sekedar untuk menenangkan hati beliau. Kebetulan waktu itu aku cuti dan
merayakan Idul Adha di kampung.
Aku berusaha menjalani terapi
dengan seksama, sejurus kemudian aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Semua
terlihat asing, bahkan mama, papa, aku tidak mengenalnya lagi.
Dalam keadaan tidak sadar aku
dibawa ke kota Makasar, mama dan papa menyertaiku. Tiga hari dua malam aku
tidak pernah sadarkan diri karena kesurupan.
Sejak itulah, hidupku dalam
kegelapan dan ketakutan yang
amat.
Syukurlah mama selalu
menyertaiku, senantiasa mendampingiku.
Dari beliaulah aku banyak belajar
tentang kesabaran, menuntunku untuk shalat, dan berdzikir.
Menenangkan hatiku saat ketakutan
itu menghampiriku.
Beliaulah penguatku, yang
senantiasa berada di sampingku dan memberikan semangat. Bagiku do’a mama adalah
keajaiban untukku.
Malam itu seperti malam
sebelumnya, aku lalui dengan perasaan gelisah.
Kematian... menari diujung mata.
Ya Allah... jangan sekarang...berilah
aku kesempatan.
Terbayang semua dosa yang pernah
ku lakukan. Aku terbangun dengan sekujur tubuh bersimbah peluh.
Saat itulah ku lihat mama dan
papa dalam sujudsujud panjang mereka..., nuraniku terpanggil.
Dalam pekat malam ku beranjak
dari peraduan. Ku basuh wajahku dengan air wudhu.., sejuta kesejukan yang telah
lama tidak ku rasakan.
Ya Allah...malam ini ku beranikan
diri menghadapMu...inilah aku ya Allah...hamba-Mu yang berlumur dosa...berharap
pengampunan dari-Mu...aku bersujud simpuh di hadapan-Mu...dengan segala
kerendahanku...berharap cahaya hidayah-Mu.
Ya Allah...lama sudah aku mencari
sandaran untuk menopang jiwa yang rapuh ini dan tempat mengadu semua keluh
kesahku...sekarang telah ku temukan bersama-Mu...di hadapan-Mu...
Disepertiga malam terakhir
pertama kalinya ku rasakan indahnya berjumpa, berjumpa dengan Sang Kholik. Ku
temukan kembali arti hidup dan semangat baru.
Senja tenggelam seiring malam
yang menjelang
Langit tak berbintang
Gelap tersapu mendung
Dan diam ku cari jawab dalam
tanya
Bulan tak nampak, namun ku tahu
pasti ia tak beranjak dari sana
Tetap setia jadi lentera malam
Meskipun kabut hitam membayang
Menghalau bias cahayanya, hingga
tak sampai ke bumi.
Kutemui jawabannya di sana
Terselip secercah asa
Aku ingin seperti dia
Tersenyum dalam kesendirian,
berharap sepi, berlalu, pergi, jauh, dan tidak kembali.
Hidup yang lalu untuk apa
disesali, hadapi saja dengan sisa-sisa harapan, meski terkadang terseok di
antara kerikil-kerikil tajam dan batu-batu cadas.
Toh semua akan berlalu seperti
angin yang berdesir, seperti malam yang berganti pagi.
Bila esok masih ada cahaya,
bulatkan tekad, satukan asa yang terpisah dengan satu harapan petunjuk-Mu
Tuhan...beri hidayah-Mu...tuntun jalanku, agar aku tetap dijalan-Mu...
selamanya.
Semenjak rutin menjalani terapi
ruqyah serta mengamalkan dzikir pagi dan petang, Alhamdulillah kesehatanku
semakin membaik.
Walaupun secara kasat mata orang
lain menilai tidak ada perubahan, tetapi bagiku yang lebih penting, hati dan
jiwaku telah terobati.
Aku berusaha memperbaiki cara
berpakaianku, tidak peduli teman-teman acapkali meledek penampilanku, yang
katanya... gak lhoe banget deh.
Hidupku berubah sejak aku
mengenal akhwat. Tuhan...tempat apa ini. aku berusaha menopang tubuhku yang
hampir roboh. Sore itu aku diantar ke asrama STIBA akhwat.
Aku tidak pernah membayangkan
kalau yang dimaksud akhwat itu, adalah mereka yang berada di hadapanku
sekarang. Berpakaian hitam tertutup, dari atas kepada hingga ujung kaki,
kontras sekali dengan penampilanku pada saat itu.
Dengan tangan gemetar...dan wajah
pias, aku menyalami mereka satu persatu. Mereka menjabat erat tanganku, erat
sekali. Malah membuatku sedikit meringis.
Hingga shalat berjamaah pun aku
tidak bisa melaksanakannya dengan khusuk, rasanya sulit bernafas di antara shof
yang begitu rapat dan bacaan yang begitu panjang membuat kakiku kesemutan. Ku
gigit bibir menahan air mata yang hampir tumpah. Tega sekali ustadz membawaku
ke tempat seperti ini.
“Cobalah untuk sebulan saja.”
Bujuk mama.
Oleh mama aku tidak diizinkan kembali ke rumah nenek. Tak mengapalah...toh cuma sementara waktu. Ku coba untuk menghibur diri.
Tidak terbayangkan melalui
hari-hari bersama akhwat. Terus terang citra buruk tentang mereka merekat erat
dibenakku. Mereka yang terorislah...mereka yang memutuskan tali silatu rahim
dengan kerabatlah...tak kenal maka tak sayanglah...
Persepsi yang telah kusadap dari
berbagai versi cerita konyol orang-orang di luar sana. Ternyata...jauh dari
kenyataan.
Beberapa bulan telah berlalu,
tetapi aku masih di sini, berada di tengah-tengah para akhwat.
Ukhuwah fillah yang mereka
tunjukkan cukuplah untuk membuktikan, bahwa ternyata yang mengikat kita dengan
persaudaraan adalah ikatan hati, bukan ikatan darah.
Aku tidak paham tentang
batasan-batasan aurat, tetapi Allah menggerakkan hatiku dengan cara lain. Tak
seperti biasanya, aku mulai terganggu manakala ada lawan jenis yang
memandangku. Kadang aku malu sendiri kenapa aku jadi narsis begini.
Berkali ku cermati diriku dalam
cermin, aku menangis, tetapi tidak tahu kenapa. Yang ku tahu ada yang salah
dari penampilanku.
Perlahan ku benahi cara
berpakaianku. Memakai rok yang panjang dan jilbab yang sedikit tertutup.
Ku biasakan juga memakai kaos
kaki, meskipun terkadang aku risih bersama dengan akhwat, karena kaos kakiku
yang...eemmm...berwarna-warni... dan berbunga-bunga.
Yang lebih membahagiakan lagi,
aku sudah ikut tarbiyah, meskipun masih bolong-bolong, karena kesehatanku yang
belum stabil.
Ayah Indra meninggal dunia,
kabarnya Indra sekarang ada di Kalimantan. Jika orang bertanya perasaanku
kepadanya, sebagai perempuan biasa yang terlanjur terjangkit virus cinta, jujur
mungkin aku harus mencuci otakku, untuk bisa melupakannya, tetapi menurut
ustadz yang meruqyahku, itu hanya pengaruh dari sakitku. Entahlah...aku
berharap demikian.
Ya Rabb...ampunkan diri ini yang
tak jua lepas dari angan tentang dia. Bukan tak mau...sungguh ku tak sanggup.
Betapa telah ku cuba, namun hati
terbelenggu.
Tuhan...bilakah masa kan
menguburnya, ataukah aku harus menunggu di ujung asa, harapku takkan lama,
karena takut semua tak terjawab sampai diri terkubur nanti.
Tuhan...bolehkah aku
memohon...lepaskan ia dari benak hidupku
Air mata jadi saksi, ku harus
menahan pedih, menanggung dosa ini, tetapi apa daya.
Aku telah terjatuh dalam kubangan
lumpur dan aku tidak mampu bangkit tanpa uluran tangan dari-Mu.
Ku harap ini hanya mimpi buruk,
kan berlalu seiring fajar menyingsing, namun sekian malam berlalu, hati tak jua
berubah.
Kembali tanya meretas dalam hati,
adakah asa itu masih menjadi milikku.
Tetapi Rabb...besar cintaku padanya, tak mengalahkan cintaku pada-Mu.
Aku takkan meraihnya, meskipun
mungkin aku mampu menjangkaunya, karena aku takut cintaku padaMu akan berkurang
karenanya.
Kurajut asa dalam sebongkah
impian, semoga tak sekedar fatamorgana.
Kesehatanku memburuk, sering
pingsan, dan kesurupan. Kali ini jin yang merasuk dalam tubuhku adalah jin
Salibis. Memakai bahasa yang tidak ku pahami, kadang berbahasa Jawa, kadang
pula berbahasa Kalimantan.
Kali ini aku tidak mengalami
kesurupan total, sehingga aku dapat merasakan dan merekam setiap kejadian yang
aku alami. Tanpa mampu mengendalikan setiap perkataan dan perbuatanku.
Jiwa seakan terpisah dari raga,
seperti patung dalam tubuh sendiri. Hingga aku tidak mampu membedakan..., aku
yang sadar dan yang kesurupan.
Kulalui masa-masa sulit
beribadah, yang terbayang hanyalah gambar-gambar salib, yang terdengar hanyalah
kidung-kidung gereja yang menyesatkan.
Bahkan tak jarang pula bisikan
setan menuntunku ke gereja. Syukurlah...akhwat senantiasa menjaga dan
mengawasiku.
Tarbiyahku terputus, dan harus
vakum di rumah sakit.
Setelah rutin melakukan terapi
ruqyah, keadaanku mulai membaik.
Aku kembali bekerja di rumah
sakit. Syukurlah...aku masih diterima. Ku putuskan untuk memakai jilbab yang
lebih besar, meskipun dengan melalui berbagai kendala dan jalan yang panjang.
Tetapi kemudian...Allah
memudahkan jalanku untuk itu. Aku beroleh kebijakan dari rumah sakit,
Alhamdulillah...
Jalan panjang untuk mencari
kesembuhan telah ku lalui. Sebenarnya aku malu untuk diruqyah terus seperti
ini, tetapi apa boleh buat, untuk meruqyah diri sendiri aku belum mampu. Aku
sering mencobanya, tetapi pada akhirnya aku harus ditangani lagi oleh ustadz,
karena tidak mampu mengontrol diri bila kesurupan.
Syukurlah, para ustadz yang
menanganiku saat itu sangat sabar dan senantiasa memberikan semangat padaku.
Mereka bilang, aku harus bersabar, karena banyak jin Salibis dalam tubuhku, dan
di antaranya adalah jin Mahabbah.
Untuk kesekian kalinya...aku
melakukan kesalahan fatal. Aku telah melampaui hakku sebagai seorang wanita,
banyak yang memandangiku sinis karenanya, banyak komentar terlontar yang
membuat hatiku hancur lebur. Itulah bedanya orang yang tertarbiyah dengan orang
yang tidak tertarbiyah.
Ya Allah...begitu besar kesalahan
yang aku perbuat. Sungguh sakit hati ini, tetapi apa dalilku untuk membela
diri. Adakah yang percaya aku mengambil keputusan ini di luar kesadaranku.
Ya Allah...aku butuh
dukungan...bukan hujatan
Masalah ini membuatku sangat terpuruk, meskipun aku telah menyakinkan
diriku, bahwa rizki, jodoh, mati adalah ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan bagaimana kita melaluinya
telah digariskan pula oleh-Nya, tetapi aku takut, karena telah melalui jalan
itu dengan menorehkan dosa yang boleh jadi taruhannya fitnah dan kehancuran.
Satu hal yang membuatku lega, yang bersangkutan dalam masalah ini menerima
keputusanku dengan satu keyakinan, akan digantikan dengan yang lebih baik dan
sekarang telah dibuktikan olehnya.
Bukankah janji Allah itu pasti?!
Wanita baik-baik untuk lelaki
yang baik.
Aku turut bahagia atas
pernikahannya dan berdo’a untuk kebahagiaan mereka.
Lima tahun sudah aku melang-lang
buana mencari kesembuhan, hingga aku sampai pada suatu titik. Mungkin Allah
mempunyai rencana lain buatku.
Bukankah kesembuhan saat itu
tidak menjamin aku untuk selalu mengingat-Nya?
Bukankah Allah Maha Mengetahui
yang terbaik untuk setiap hamba-Nya?
Melepaskan diri dari
bayang-bayang Indra ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Seperti ada
ikatan aneh yang sangat kuat mengikat aku dengannya.
Mungkin sulit diterima oleh
nalar, tetapi bagiku sangat nyata. Aku merasakan kepulangannya saat dari
Kalimantan. Aku tahu pasti ia sakit keras, padahal tak seorang pun yang
memberitahuku tentang semua itu. Apa yang terjadi denganku? Aku tidak
tahu.
Namun hingga saat ini, setiap
kali Indra merasakan kesakitannya, semua begitu jelas tergambar dikelopak
mataku dan akupun merasakan bagian dari kesakitan itu.
Apa yang terjadi dengan Indra?
Apakah yang menimpanya adalah
buah atas perbuatannya?
Ataukah sebuah ujian baginya?
Akan menjadi misteri bagiku.
Tetapi aku akan selalu berdo’a,
semoga ini sebagai pelipur dosaku dan dosanya
Semoga Allah menjaga hatiku dan
hatinya
Semoga Allah memberikan yang
terbaik bagiku dan baginya
Semoga Allah berkenan memberikan
kesembuhan untukku dan untuknya. Aamiiin ya Rabbal ‘aalamiiin.
Penghujung tahun 2009, bila asa
berujung lara, aku pasrah pada takdir, dan hidup kan berjalan seperti yang
dikehendaki-Nya.
Menyerah...tak tahu aku ke mana
harus berlabuh, biarlah hidup terbawa ke mana angin bertiup, karena ku rasa
kini...hanyalah kehampaan.
Aku tidak mampu lagi
menggambarkan keadaanku saat ini, ternyata aku rapuh...sangat rapuh.
Aku kalah pada ketakutanku
sendiri dan setan menyusup ke dalam hatiku dengan mudahnya.
Awalnya aku berharap ini
halusinasiku belaka, tapi ini terus berulang...dan terus berulang.
Sejauh manakah jin menguasai
manusia?
Benarkah jin bisa jatuh cinta
pada manusia?
Berulang-ulang kali pertanyaan
itu aku lontarkan, hanya untuk memastikan bahwa apa yang ku alami hanyalah
mimpi buruk belaka.
Kadang aku merasa jijik pada
diriku, hingga aku merasa diri ini seperti wanita kotor yang tidak pantas lagi
menikah.
Aku malu...bahkan pada diriku
sendiri.
Semua itu membuatku rela
menghibah, memelas, bahkan menyatakan kesanggupanku untuk tidak menikah. Hanya
untuk mendapat belas kasih dari jin.
Aku lengah...tanpa sadar aku
telah menyangsikan pertolongan Allah dan mengemis kasih pada selain-Nya.
Apa yang telah aku lakukan?
Apakah tanpa sadar aku telah
membuat perjanjian dengan jin?
Kini kurasakan imbasnya.
Sholatku...ibadahku begitu berat
untuk ku laksanakan...jauh lebih berat dari sebelumnya.
Ya Rabb...apakah Engkau marah
padaku?
Mengapa begitu sulit untukku
beroleh cinta-Mu?
Apa yang menghalangi aku untuk
dekat denganMu?
Ya Rabb...jika aku berbuat
dosa...mahon ampunilah aku
Jika aku berbuat salah...harap
tunjukilah aku ke jalan yang benar
Jika apa yang aku lakukan tidak
cukup...ajarilah aku untuk mencintai-Mu...karena aku hanya berharap cinta dari-Mu
Aku kini mengemis kasih dari-Mu.
Lama jiwa berkubang nista
Terjerat dalam fatamorgana dunia
Kurindu sebaik kata ukhuwah dari
jiwa sang perindu surga
Sejenak nafas terhenti
Ya Rabb...ampuni aku
Selalu ku sangsikan hadir-Mu
dalam perjalananku
Ya Rabb...adakah kesempatan lagi
bagiku untuk berharap hidayah-Mu?
Kuharap diujung sana ada secercah
cahaya-Mu menantiku.
Wassalam.
0 Komentar