Beberapa hal yang bisa mengurangi pahala puasa, di antaranya adalah:
Pertama: Marah
dan Mencaci.
Lajnah
Daimah pernah ditanya,
Jika di
bulan Ramadhan seseorang marah terhadap sesuatu dan dalam keadaan marah dia
mencaci maki, apakah puasanya batal atau tidak?
Jawaban:
Marah tidak
membatalkan puasa, tetapi pahalanya akan berkurang. Oleh karena itu, seorang
Muslim harus mengendalikan dirinya dan menjaga lisannya dari cacian, makian,
ghibah, namimah, dan lain sebagainya yang diharamkan Allah baik dalam keadaan
puasa maupun tidak.
Pada saat
puasa, menjaga kesempurnaan puasa dan menjauhi hal-hal yang menyakiti orang
lain lebih ditekankan, karena bisa menjadi penyebab perselisihan, kebencian,
dan perpecahan. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Jika salah
seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah berkata-kata kotor dan
janganlah bertengkar. Jika ada orang yang memakinya atau mengajaknya berkelahi,
maka hendaklah dia berkata, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari
dan Muslim). [Fatwa Lajnah Daimah lil Ifta’, Nomor: 7825]
Begitu pula
Syekh Shalih al-Fauzan ditanya tentang puasa orang yang marah dan melontarkan
kata-kata kotor.
Pertanyaan:
Bagaimana
hukum puasa orang yang sedang mengemudi dalam keadaan berpuasa di bulan
Ramadhan, dan ketika terjebak macet, mereka mengeluarkan kata-kata kotor bahkan
sampai mencaci maki orang lain?
Jawaban:
Puasa
mereka tetap sah, karena ucapan dan perbuatan haram tidak membatalkan puasa.
Namun, hal tersebut tentu saja akan mengurangi pahala dan menghilangkan manfaat
serta buah dari puasanya.
Tujuan
utama puasa adalah untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah, sebagaimana
firman Allah:
"Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Allah
menjelaskan hikmah di balik kewajiban puasa, yaitu untuk mendapatkan ketakwaan
kepada-Nya.
Nabi
bersabda, "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan melakukannya,
serta bersikap bodoh, maka Allah tidak butuh puasanya." (HR. Bukhari)
Bahkan,
Nabi memerintahkan orang yang berpuasa, ketika dicaci maki atau diajak
berkelahi, untuk mengatakan: "Sesungguhnya aku sedang berpuasa."
Hal ini
bertujuan untuk mencegah orang yang mencaci maki agar berhenti, dan agar dia
tahu bahwa orang yang berpuasa tidak membalasnya karena lemah, tetapi karena
rasa takut dan takwa kepada Allah.
Kewajiban
bagi orang yang berpuasa, maupun yang tidak berpuasa, adalah untuk bersabar dan
menahan diri, serta tidak terpancing oleh hal-hal yang bertentangan dengan apa
yang diinginkan dirinya.
Nabi
bersabda:
"Seseorang
pernah berkata: 'Ya Rasulullah, berilah aku nasihat.' Beliau menjawab:
'Janganlah marah.' Orang itu mengulanginya beberapa kali, dan beliau selalu
menjawab: 'Janganlah marah'."
Seringkali,
orang yang marah menyesali apa yang telah dia lakukan atau katakan setelah
amarahnya mereda. Dia berharap dia tidak berkata atau melakukan apa pun karena
amarahnya. Namun, setelah diucapkan atau dilakukan, tidak ada gunanya menyesal.
[Syekh Shalih al-Fauzan, Kitab ad-Da'wah: 1/158]
Kedua: Ghibah dan Namimah.
Ghibah dan
namimah tidak membatalkan puasa. Namun, semua itu merupakan dosa yang harus
dihindari oleh orang yang sedang berpuasa maupun tidak.
Perbuatan-perbuatan
tersebut dapat mengurangi pahala puasa.
Allah
berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(QS. Al-Baqarah: 183).
Nabi
bersabda, "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan melakukannya,
serta bersikap bodoh, maka Allah tidak butuh puasanya." (HR. Bukhari)
Rasulullah
juga bersabda, "Banyak orang yang berpuasa, yang tidak mendapatkan apa-apa
dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga. Dan banyak orang yang shalat
malam, yang tidak mendapatkan apa-apa dari shalat malamnya kecuali rasa
lelah."
Dapat
disimpulkan bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga
menahan diri dari berbagai perbuatan maksiat. Dengan menjaga seluruh anggota
tubuh dari perbuatan maksiat, pahala puasa akan menjadi lebih sempurna.
Ketiga: Kesaksian
palsu
Kesaksian
palsu termasuk dosa besar. Kesaksian palsu adalah ketika seseorang memberikan
kesaksian atas sesuatu yang tidak dia ketahui atau dia tahu bahwa kesaksiannya
itu berlawanan dengan kenyataan. Kesaksian palsu tidak membatalkan puasa,
tetapi mengurangi pahalanya. (Fatwa Syaikh Ibn Utsaimin, 1/535)
Keempat: Berkata
Kotor.
Mari kita
renungkan ayat Al-Quran berikut:
"Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Dari ayat
tersebut, kita memahami bahwa hikmah di balik kewajiban berpuasa adalah untuk
mencapai takwa kepada Allah. Takwa berarti meninggalkan segala larangan dan
mengerjakan semua perintah Allah.
Nabi
bersabda: "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan
melakukannya, serta bersikap bodoh, maka Allah tidak butuh puasanya." (HR.
Bukhari)
Berdasarkan
hadits tersebut, ditegaskan bahwa seorang yang berpuasa wajib menghindari
segala larangan, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Ia tidak boleh
menggosip, berbohong, menyebarkan fitnah, melakukan jual beli haram, dan
menghindari segala bentuk larangan lainnya.
Jika
seseorang mampu melakukan hal tersebut selama sebulan penuh, maka ia akan
terbiasa melakukannya dibulan-bulan lain.
Namun,
sayangnya, banyak orang yang berpuasa tidak membedakan antara saat berpuasa dan
tidak berpuasa. Mereka tetap terbiasa mengucapkan perkataan haram seperti
berbohong, menipu, dan lain sebagainya. Mereka tidak menyadari bahwa mereka
harus menjaga kehormatan dan kesucian bulan Ramadhan.
Perbuatan-perbuatan
tersebut tidak membatalkan puasa, tetapi mengurangi pahalanya. Bahkan, bisa
jadi, pahala puasanya akan hilang seluruhnya di sisi Allah. (Fatwa Syaikh Ibn Utsaimin, 1/501)
Kesimpulan:
Apapun jenis maksiat, baik perkataan maupun perbuatan akan bisa mengurangi
pahala puasa. Maka sepatutnya bagi seorang muslim untuk menghindari apa yang
Allah larang, terlebih di bulan puasa.
Semoga
Allah memperbaiki keadaan umat Islam, memberikan kita pemahaman yang benar
tentang agama, meneguhkan kita di atas kebenaran, dan memperbaiki para pemimpin
kita. Sungguh Allah Maha Pemberi dan Maha Mulia.
----------
Selesai disusun
menjelang Dzuhur, Ahad 6 Ramadhan 1445 H/17 Maret 2024 M
Oleh:
Panewu Tunggul Alam, Lc., M.A.
0 Komentar