Kamu Boleh Melakukan 10 Hal ini Ketika Puasa


Pertama: Menunda Mandi bagi Orang Junub sampai Fajar Terbit.

Diperbolehkan bagi orang junub untuk menunda mandi dari hadas besar sampai fajar terbit.

Dalil dari Sunnah:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان يُدرِكُه الفَجرُ وهو جُنُبٌ مِن أهلِه، ثم يغتَسِلُ ويَصومُ

Dari Aisyah dan Ummu Salamah, mereka berkata, "Rasulullah pernah mendapati fajar terbit saat beliau junub setelah berhubungan dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa." (HR. Bukhari: 1925 dan Muslim: 1109)

Dalil dari Ijma' (Konsensus Ulama):

فقد يحتَلِمُ بالنَّهارِ فيجبُ عليه الغُسلُ، ولا يحرم عليه، بل يُتِمُّ صَومَه إجماعًا، فكذلك إذا احتَلَمَ ليلًا، بل هو من بابِ الأَوْلى

Ibnu Hajar berkata, "Seseorang yang mimpi basah di siang hari wajib mandi, tetapi puasanya tidak batal dan dia harus melanjutkan puasanya. Hal ini merupakan ijma' (konsensus ulama). Maka demikian pula jika dia mimpi basah di malam hari, bahkan hal ini lebih utama." (Fathul Bari: 4/148)

 

Demikian pula diperbolehkan bagi wanita haid yang telah suci untuk menunda mandi dari hadas haid sampai fajar terbit. Hal ini disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.

Kebolehan ini didasarkan pada qiyas dengan orang junub yang diperbolehkan menunda mandi sampai fajar terbit. (Al-Mughni, ibnu Qudamah: 3/149)

 

Kedua: Berkumur dan Menghirup Air.

Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk berkumur dan menghirup air dengan tidak berlebihan.

Ibnu Taimiyah meriwayatkan ijma' tentang hal ini. (Majmuk Fatawa: 25/266)

 

Ketiga: Mandi dan Menyiramkan Air ke Kepala bagi Orang yang Berpuasa.

Tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk mandi atau menyiramkan air ke kepalanya karena panas atau haus. Hal ini disepakati oleh keempat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.

Dalil dari Sunnah:

عن بعض أصحابِ رَسولِ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّه قال: لقد رأيتُ رَسولَ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بِالْعَرْجِ يصُبُّ الماءَ على رأسِه وهو صائِمٌ، مِن العَطَشِ، أو مِنَ الحَرِّ

Dari beberapa sahabat Rasulullah, mereka berkata, "Aku melihat Rasulullah di Arj (sebuah tempat di dekat Abwa’) menuangkan air ke atas kepalanya saat beliau berpuasa karena haus atau panas." (HR. Abu Daud: 2365 dan disahihkan oleh Al-Albani)

 

Keempat: Mencicipi Makanan Saat Berpuasa.

Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk mencicipi makanan saat ada kebutuhan. Contohnya, untuk mengetahui kematangan makanan, kadar garamnya, atau saat ingin membelinya untuk dicoba. Syaratnya, setelah mencicipi, makanan harus dimuntahkan, berkumur, atau membersihkan lidahnya. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yaitu Hanafi, Syafi'i, dan Hanabilah.

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata,

لا بأسَ أن يتطَعَّمَ القِدْرَ، أو الشَّيءَ

"Tidak mengapa mencicipi makanan dari panci atau atau makanan lainnya." ([HR. An-Nasa'i dan disahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu' (6/354) dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Irwa'ul Ghalil (4/86)])

 

Kelima: Berciuman dan Bercumbu bagi Orang yang Mampu Menahan Diri.

Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk berciuman dan bercumbu dengan istrinya selama tidak bagian kemaluan, dengan syarat ia mampu menahan diri dari nafsu. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, yaitu Hanafi, Syafi'i, dan Hanabilah.

Dalil dari Sunnah:

كان رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقبِّلُ وهو صائم، ويباشِرُ وهو صائِمٌ، ولكِنَّه أملَكُكم لإرْبِه

“Rasulullah pernah mencium dan bercumbu dengan istrinya saat puasa,, tetapi beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya.” ([HR. Bukhari (1927), dan Muslim (1106)])

 

Keenam: Memakai Parfum.

Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk memakai parfum. Hal ini disepakati oleh keempat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanabilah.

Alasan:

Tidak ada larangan bagi orang yang berpuasa untuk memakai parfum. Hal ini menunjukkan bahwa hukumnya boleh. (Majmuk Fatawa ibnu Taimiyah: 25/242)

Aroma parfum tidak masuk ke dalam tubuh orang yang berpuasa. Yang masuk hanya baunya saja. (Fatawa Nur Ala Ad-Darb ibnu Utsaimin, hal: 249)

 

Ketujuh: Bersiwak.

Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk memakai siwak kapan saja, baik sebelum maupun setelah waktu zuhur. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafi, Maliki, dan sebagian pendapat Syafi'iyahsalah satu riwayat dari Ahmad, dan pilihan Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syaukani, Ibnu Baz, Al-Albani, Ibnu Utsaimin, dan merupakan pendapat mayoritas ulama.


Bagaimana dengan pasta gigi?

Ibnu Utsaimin berkata:

"Penggunaan pasta gigi untuk orang yang berpuasa tidak apa-apa, asalkan tidak sampai turun ke perut. Akan tetapi, lebih utama untuk tidak menggunakannya karena pasta gigi memiliki daya tembus yang kuat dan dapat masuk ke perut tanpa disadari. Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda kepada Qais bin Shabrah, 'Berlebih-lebihlah dalam berkumur kecuali jika kamu sedang berpuasa.'

Lebih utama bagi orang yang berpuasa untuk tidak menggunakan pasta gigi. Hal ini karena masih banyak waktu untuk menggunakannya setelah berbuka puasa. Dengan demikian, ia dapat menghindari hal-hal yang dikhawatirkan dapat membatalkan puasanya." ([Majmu' Fatawa wa Rasail al-Uthaimin]) (19/354)

 

Kedelapan: Bercelak.

Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk bercelak. Hal ini merupakan pendapat Hanafi, Syafi'i, dan sekelompok ulama salaf. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Syaukani, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan Al-Albani.

Alasan:

Mata bukan merupakan jalan menuju perut. Seandainya seseorang mengoleskan sesuatu di kakinya dan merasakan rasa di tenggorokannya, hal itu tidak membatalkan puasanya karena kaki bukan merupakan jalan menuju perut. Demikian pula halnya dengan bercelak di mata. ([Majmu' Fatawa wa Rasail al-Uthaimin]) (19/206)

 

Kesembilan: Penggunaan Obat Tetes Mata.

Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menggunakan obat tetes mata. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafi, Syafi'i, dan dipilih oleh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin.

Alasan:

Rongga mata tidak dapat menampung lebih dari satu tetes obat. Satu tetes obat memiliki volume yang sangat kecil. Jika hal ini terbukti, maka dihukumi mubah (boleh) dan termasuk dalam kategori yang dimaafkan, seperti sisa air wudhu yang tertinggal di mulut. (Majalah Majmak Fikh Islami: 10)

Obat tetes mata diserap seluruhnya saat melewati saluran air mata dan tidak mencapai faring. Ketika obat tetes mata ini diserap, ia pergi ke area perasa di lidah, dan pasien merasakan rasanya, seperti yang dijelaskan oleh beberapa dokter. (Majalah Majmak Fikh Islami: 10)

Penggunaan obat tetes mata tidak disebutkan sebagai salah satu pembatal puasa. Obat tetes mata tidak termasuk dalam kategori hal-hal yang secara eksplisit membatalkan puasa. Seandainya seseorang mengoleskan sesuatu di kakinya dan merasakan rasanya di tenggorokannya, hal itu tidak membatalkan puasanya karena kaki bukan merupakan jalan menuju perut. Hal yang sama berlaku untuk obat tetes mata; mata bukan merupakan jalan untuk makan dan minum. (Majalah Majmak Fikh Islami: 10 dan Majmu' Fatawa wa Rasail al-Uthaimin: 19/206)

 

Kesepuluh: Penggunaan Obat Tetes Telinga.

Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menggunakan obat tetes telinga. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hazm, Ibnu Utsaimin, dan Ibnu Baz. Hal ini karena mata dan telinga bukan merupakan jalan untuk makan dan minum.

 

-------------------

Oleh: Panewu Tunggul Alam, Lc., M.A.


Selengkapnya:

https://dorar.net/feqhia/2763/%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%A8%D8%AD%D8%AB-%D8%A7%D9%84%D8%AB%D8%A7%D9%86%D9%8A-%D9%85%D8%A7-%D9%8A%D8%A8%D8%A7%D8%AD-%D9%84%D9%84%D8%B5%D8%A7%D8%A6%D9%85

 

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar