Dulu yang Kubanggakan, Ternyata...



Aku adalah seorang ibu.

Seorang pelabuhan kecil yang pernah menjadi tempat berlabuh dua jiwa.

Putri sulungku yang kubanggakan,

Dan putra bungsuku yang menjadi denyut nadiku.

Sejak kelahiran mereka, kutanam benih kasih dan kukenakan pakaian doa di tubuh mereka.

Di dalam setiap napas mereka, ada doaku yang tak pernah putus. Dalam langkah kecil mereka, kulihat bayangan masa depanku.

Keduanya adalah alasan di balik setiap doa panjangku di tengah malam, harapan di balik setiap peluh yang menetes di siang hari. 

Dua matahari kecil yang pernah menerangi duniaku,

Dua alasan mengapa aku bertahan dalam lelah dan tangis.

Mereka datang ke dunia ini membawa cahaya,

Mengisi ruang hatiku dengan cinta yang tiada banding,

Seperti fajar yang menyentuh ufuk pagi,

Seperti bintang pertama yang muncul di gelap malam.


Kepada Putriku, Sulungku yang Pertama Kali Kusebut Anak.

Saat kau lahir, kubelai wajahmu yang lembut dengan air mata syukur.

Kuharap kau menjadi wanita yang memuliakan keluarga,

Menjadi lentera yang menerangi hidupmu dan hidupku.

Aku mengasuhmu dengan cinta yang tak pernah hitung-hitungan,

Memastikan kau tak pernah kelaparan, tak pernah kedinginan.

Kepada putriku, bidadari kecil yang pertama kali memanggilku “ibu,”

Kau adalah pelangi dalam hujan hidupku,

Aku menatapmu dengan doa-doa panjang,

Berharap langkah kecilmu akan menapaki jalan kebahagiaan yang kudambakan.

Kudekap kau erat saat kau kecil,

Dan kulepas kau perlahan saat kau menjadi dewasa,

Dengan harapan bahwa dunia akan mencintaimu seperti aku mencintaimu.

Saat kau menikah, kulepas kau dengan hati yang berat,

Namun penuh harapan,

Bahwa kau akan bahagia, lebih bahagia dari apa yang mampu kuberikan.

Namun, wahai putriku,

Mengapa senyummu yang dulu menjadi milikku kini sirna?

Mengapa kini kau datang membawa kata-kata yang mengiris hatiku?

Apakah aku, ibumu ini, telah kau lupakan di sudut hidupmu?

Wahai putriku,

Mengapa bahagia yang kuimpikan kini menjadi api yang membakar jiwaku?

Setelah kau menikah, sikapmu berubah.

Kau lupa pada ibumu yang pernah begadang di malam-malam panjang,

Yang rela mengorbankan segalanya demi senyummu.

Kau datang bukan dengan cinta, tapi dengan pertengkaran,

Bukan dengan cerita bahagia, tapi luka yang mengiris.

Apa yang kurangkai dalam harap, dipecah oleh kenyataan. Kebahagiaan yang kuimpikan darimu berubah menjadi luka yang membekas. Sikapmu dan langkah hidupmu tak lagi melukis senyuman di wajah ibumu ini. Hatiku retak.

Wahai anakku, apakah aku ini tak lagi berarti bagimu? Bukankah aku yang dulu terjaga malam demi malam, memastikan kau tidur nyenyak? Bukankah aku yang rela tidak makan demi memastikan kau kenyang? Mengapa kini aku justru makan hati karena perbuatanmu?


Ya Allah, Yang Maha Membolak-balikkan Hati.

Jika anakku telah lupa akan kasih sayangku, maka janganlah Engkau melupakannya. Lembutkan hatinya, Ya Rabb, agar ia kembali mengingat betapa besar cinta seorang ibu. Jadikan ia wanita yang taat, yang menjadikan Engkau tujuan dari setiap langkahnya. Ampunilah aku jika aku pernah khilaf dalam mendidiknya, dan bimbinglah ia untuk kembali ke jalan-Mu.

Jika putriku telah lupa, ingatkanlah ia dengan kasih-Mu.

Jika ia berjalan menjauh, tuntunlah ia kembali.

Hapuskanlah segala keburukan yang mengaburkan hatinya,

Dan jadikan ia kembali menjadi putri yang memuliakan Tuhan dan ibunya.

Jika hatinya telah jauh dari-Mu, dekatkanlah kembali.

Jika ia telah melupakan aku, ingatkanlah ia tentang cinta seorang ibu.

Teguhkan langkahnya di jalan-Mu, dan jadikan ia wanita yang bertakwa,

Agar aku, dalam akhir hidupku, bisa kembali memeluknya tanpa luka.


Dan Kepada Putraku, Bungsuku yang Menjadi Penghiburku

Sejak kecil kau adalah pelipur laraku, tawa polosmu adalah obat segala penat. Harapanku kepadamu tak kalah tingginya. Aku berkhayal kau akan menjadi pelindungku di masa tua, penyejuk hati yang rapuh ini.

Putraku, aku selalu percaya, meskipun kau lelaki kecil yang sering berlari tanpa arah, kau kelak akan menjadi pelindungku, lelaki tangguh yang menjadi kebanggaan ibunya. Setiap kali kau memanggilku "ibu," hatiku mekar penuh harapan.

Kau adalah harapan terakhirku,

Penyelamat jiwa yang kuharapkan akan menjadi pelindungku di masa senja.

Namun kini, kau berjalan di jalan yang gelap,

Judi dan minuman menjadi temanmu,

Dan aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan,

Melihat hidupmu terurai seperti benang yang kusut.

Setiap tetes gajimu hilang tanpa arti,

Setiap langkahmu menjauhkanmu dari kebaikan,

Dan aku, ibumu, hanya bisa menangis dalam diam.


Anak-Anakku,

Air mata ini jatuh bukan karena aku membencimu, melainkan karena aku mencintaimu lebih dari yang mampu diungkapkan kata-kata. Aku tidak meminta apa-apa darimu, selain melihatmu bahagia dalam jalan yang diridhai Allah.

Anakku, ingatlah saat kecil kau terjatuh dan aku yang mengobati lukamu. Kini, hatiku yang terluka melihat hidupmu menjauh dari kebaikan. Jika kau bisa mendengar jeritan hati ini, kembalilah, wahai buah hatiku.

Aku adalah ibu yang pernah memeluk kalian dalam dingin malam, yang pernah membisikkan doa di telinga kalian saat kalian tidur. Sampai detik ini, aku tetap mencintai kalian, meski luka yang kalian tinggalkan di hatiku begitu dalam.


Wahai Tuhanku,

Dalam kesendirian aku bersujud. Sakit hati ini kubawa ke hadapan-Mu, sebab hanya Engkaulah pelipur lara sejati. Anak-anakku adalah titipan-Mu, dan kini kuadukan semuanya kepada-Mu. Tuntunlah mereka, Ya Allah, sebagaimana Engkau dulu menuntun hati ini untuk mencintai mereka dengan tulus.

Hati ini terasa remuk melihat anak-anakku yang dulu kubanggakan, kini seakan mengabaikan keberadaanku. Air mata ini tak lagi bisa kutahan. Tapi kepada siapa lagi aku mengadu, jika bukan kepada-Mu?

Aku memohon dalam tangis yang tak berkesudahan.

Dialah harapanku, permata pertama yang menghias hidupku.

Namun ia menjauh,

Meninggalkan cintaku seperti dedaunan yang gugur tanpa alasan.

Sikapnya menjadi belati yang melukai hati,

Dan aku, ibunya, hanya bisa menahan sakit dalam diam.

Jika air mata ini bisa menjadi saksi,

Maka biarkan setiap tetesnya menjadi doa yang sampai ke langit-Mu.

Jika aku harus menanggung kesedihan ini untuk melihat mereka kembali,

Maka kuatkan hatiku, ya Allah.

Aku hanya seorang ibu, dengan cinta yang tak bertepi,

Dan doa yang tak pernah berhenti,

Untuk anak-anak yang kucintai lebih dari hidupku sendiri.

Dengan air mata yang bercampur doa,

Aku memohon kepada-Mu, ya Allah,

Jangan biarkan kasih seorang ibu ini menjadi sia-sia.

___________

Sumampir, embun pagi jatuh ke tanah, seperti air mataku yang selalu membasahi sajadah.

Ahad, 22 Jumadil Awal 1446 H/24 November 2024 M.

• Panewu Tunggul Alam, M.A.

Posting Komentar

0 Komentar