Apa itu takdir?
Takdir adalah Ketentuan Allah untuk seluruh
yang ada sesuai dengan ilmu dan hikmah-Nya.
Takdir ini kembali kepada kekuasaan Allah,
sesungguhnya Dia atas segala sesuatu maha kuasa, dan berbuat apa yang
dikehendaki-Nya.
Iman kepada takdir merupakan bagian dari iman
kepada rububiyah Allah subhanahu wataala dan merupakan salah satu dari rukun
iman yang tidak akan sempurna keimanan seseorang tanpanya.
Iman kepada takdir merupakan bagian dari iman
kepada rububiyah Allah, yaitu keimanan terhadap keesaan, kekuasaan, dan kepemilikan-Nya
terhadap alam semesta ini.
Iman kepada takdir juga termasuk salah satu
dari rukun iman yang tidak dapat dilepaskan dari keimanan seseorang.
Ini menandakan bahwa keyakinan kita terhadap
takdir Allah adalah bagian penting dari keimanan kita secara keseluruhan.
Dengan meyakini takdir, kita menyadari bahwa
setiap peristiwa dalam hidup kita telah ditentukan oleh Allah, termasuk
kebahagiaan dan kesulitan yang kita alami.
Keyakinan ini membantu kita menerima takdir-Nya
dengan ikhlas dan sabar, serta menghadapi setiap ujian dan cobaan dengan
kepercayaan bahwa Allah mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Dalam iman kepada takdir, kita juga diingatkan
untuk senantiasa berusaha dan berdoa kepada Allah untuk mendapatkan yang
terbaik dalam hidup ini, namun pada saat yang sama, kita menerima dengan tulus
ketentuan-Nya jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan harapan kita.
Iman kepada takdir merupakan landasan kuat
dalam menghadapi berbagai situasi dalam hidup, serta sebagai benteng untuk
menjaga keimanan kita tetap teguh dalam menghadapi cobaan dan tantangan.
Dengan meyakini takdir Allah, kita menunjukkan
ketaatan dan kepatuhan kepada-Nya sebagai hamba yang rendah diri, mengakui
bahwa Dia-lah satu-satunya Yang Maha Tahu dan Maha Menentukan atas segala
sesuatu.
Bagaimana cara kita beriman kepada takdir Allah?
Cara kita beriman kepada takdir adalah dengan
meyakini empat pilar berikut;
Pertama, Meyakini pengetahuan Allah yang Maha Awal
(azali), yang mencakup segala sesuatu..
Ini berarti kita meyakini bahwa Allah
mengetahui segala sesuatu, baik yang terjadi di masa lalu, masa kini, maupun
masa depan. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya yang Maha
Luas.
Kedua, Mengimani bahwa ilmu Allah tentang takdir
segala sesuatu telah tertulis dalam Lauh Mahfudz.
Lauh Mahfudz adalah sebuah lembaran yang ada di
sisi Allah yang mencatat segala takdir dan peristiwa yang akan terjadi.
Keyakinan ini mengajarkan bahwa segala sesuatu
yang terjadi telah ditentukan dan tertulis dengan pasti oleh Allah.
Ketiga, Mengimani ketetapan Allah yang pasti terwujud
dan kekuasaan-Nya yang meliputi segalanya.
Allah adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu,
dan kehendak-Nya tidak dapat diganggu gugat. Apa pun yang Allah kehendaki pasti
terjadi tanpa ada yang dapat menghalanginya.
Keempat, Mengimani bahwa Allah adalah Maha Pencipta
segala makhluk.
Ini mengandung keyakinan bahwa Allah adalah
Pencipta alam semesta beserta isinya, termasuk makhluk-makhluk di dalamnya.
Tidak ada yang dapat menciptakan selain-Nya.
Dengan memahami dan meyakini keempat tingkatan
ini, kita akan memiliki keimanan yang sempurna terhadap takdir Allah.
Kita akan menerima segala hal yang terjadi
dalam hidup dengan ikhlas dan sabar, karena kita yakin bahwa itu adalah
ketetapan-Nya yang Maha Bijaksana.
Kita juga akan berusaha keras dan bertawakal
kepada-Nya dalam menghadapi segala ujian dan cobaan, karena kita tahu bahwa
Allah-lah yang Maha Menentukan segala nasib dan keputusan.
Semoga keimanan kita semakin kuat dan sempurna
dalam menghadapi kehidupan ini dengan keyakinan bahwa Allah-lah Yang Maha Tahu
dan Maha Mengatur segala sesuatu.
Macam-macam takdir:
a) Takdir Umum: Merupakan takdir yang mencakup
seluruh makhluk dan segala hal yang terjadi di alam semesta.
Allah telah menuliskannya di Lauh Mahfudz lima
puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.
Ini mencakup peristiwa-peristiwa besar dalam
sejarah dan alam semesta yang telah ditentukan oleh Allah.
b) Takdir Sepanjang Umur: Merujuk pada takdir
yang mencakup setiap peristiwa dan kejadian dalam hidup seorang hamba dari saat
Allah meniupkan ruh kepadanya hingga akhir ajalnya.
Semua aspek kehidupan seseorang, seperti
rejeki, kesehatan, musibah, dan berbagai pengalaman hidup lainnya, telah
ditentukan oleh Allah dalam takdir ini.
c) Takdir Tahunan: Merupakan takdir yang
ditetapkan untuk setiap tahunnya.
Ia ditentukan oleh Allah pada malam Lailatul
Qadar, malam kemuliaan yang terjadi pada bulan Ramadan. Pada malam ini,
takdir-takdir yang terjadi selama satu tahun ke depan ditulis oleh Allah.
d) Takdir Harian: Merujuk pada takdir yang
mencakup apa yang terjadi setiap harinya dalam kehidupan seseorang.
Ini mencakup peristiwa-peristiwa kecil, seperti
pertemuan dengan orang lain, keberuntungan, kesulitan, dan berbagai peristiwa
harian lainnya. Allah menentukan takdir harian ini dengan penuh
kebijaksanaan-Nya.
Penjelasan di atas menggambarkan bahwa takdir
adalah ketetapan dan penentuan Allah atas segala hal yang ada dalam alam
semesta dan kehidupan individu.
Takdir mencakup berbagai skala waktu, mulai
dari takdir umum yang meliputi seluruh makhluk, hingga takdir harian yang
mencakup peristiwa-peristiwa kecil dalam kehidupan sehari-hari.
Semua ini merupakan bagian dari kebijaksanaan
Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan
memiliki kekuasaan mutlak atas seluruh makhluk-Nya.
Dia telah menetapkan takdir dan ketentuan yang
akan berlaku terhadap semua ciptaan-Nya sebelum menciptakan mereka.
Semua hal, seperti ajal (waktu kematian),
rezeki, amalan, dan akhir dari kehidupan mereka, baik kebahagiaan maupun
kesengsaraan, semuanya sudah tertulis di Lauh Mahfudz, kitab kehendak Allah
yang merupakan bagian dari ilmu-Nya yang azali.
Allah mengetahui dengan pasti apa yang telah
terjadi di masa lalu, apa yang sedang terjadi saat ini, dan apa yang akan
terjadi di masa mendatang.
Jika suatu peristiwa terjadi, maka itu karena
Allah menghendakinya, dan jika suatu peristiwa tidak terjadi, maka itu karena
Allah tidak menghendakinya.
Dia memiliki kekuasaan penuh atas segala sesuatu
dan segala keputusan-Nya tak terbatas oleh apapun.
Meskipun Allah telah menetapkan takdir bagi
setiap hamba, namun setiap hamba tetap memiliki keinginan dan kemampuan untuk
berbuat sebagaimana telah ditentukan-Nya.
Artinya, manusia memiliki kebebasan untuk
mengambil keputusan dan bertindak, namun hal tersebut tidak melepaskan
kekuasaan Allah dalam menentukan takdir.
Keyakinan ini mengajarkan kita untuk berserah
diri sepenuhnya kepada kehendak Allah, bahwa segala apa yang kita inginkan dan
lakukan hanya akan terjadi jika Allah menghendakinya.
Dalam kehidupan, kita sebagai hamba Allah harus
senantiasa mengandalkan petunjuk-Nya, berserah diri kepada-Nya, dan mengikuti
kehendak-Nya dengan penuh keyakinan bahwa segala yang terjadi adalah hasil dari
takdir-Nya yang penuh hikmah.
Semua ini mengajarkan kita untuk tawakkal
kepada Allah, mengikuti petunjuk-Nya, dan menerima takdir-Nya dengan ikhlas dan
sabar.
Perbuatan Hamba
Perbuatan yang Allah ciptakan di alam ini dapat
dibagi menjadi dua kategori:
Pertama, perbuatan-perbuatan yang diberlakukan oleh
Allah terhadap makhluk-Nya.
Dalam hal ini, tidak ada pilihan atau kehendak
bagi makhluk tersebut, semuanya terjadi atas kehendak Allah.
Misalnya, Allah menentukan kapan seseorang akan
mati, kapan seseorang akan hidup, kapan seseorang akan sakit, dan kapan
seseorang akan sembuh.
Semua ini merupakan ketetapan dan kehendak
Allah yang tidak dapat diubah oleh makhluk-Nya.
Di sinilah kita menyaksikan keagungan dan
kekuasaan Allah sebagai Pencipta yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kedua, perbuatan yang dilakukan oleh makhluk yang
memiliki kehendak.
Manusia dan makhluk lain yang memiliki akal dan
kehendak bebas dapat membuat pilihan dan melakukan tindakan sesuai dengan
kehendak mereka.
Allah telah memberikan kebebasan ini kepada
manusia sebagai bentuk ujian dan tanggung jawab.
Dalam hal ini, manusia akan dipuji atau dicela
berdasarkan perbuatan mereka yang sesuai dengan ajaran-Nya. Allah tidak
menghukum hamba-Nya atas perbuatan yang terjadi tanpa pilihan atau kehendak
mereka, karena mereka tidak memiliki kendali atas hal tersebut.
Sebagai manusia, kita mampu membedakan antara
perbuatan yang kita lakukan karena pilihan bebas kita dan perbuatan yang
terjadi karena keadaan atau tindakan orang lain.
Sebagai contoh, jika seseorang turun dari atap
rumah dengan tangga, itu adalah perbuatan yang didasari oleh pilihan dan
kehendaknya sendiri.
Namun, jika seseorang jatuh karena dilempar
oleh orang lain dari atap, itu adalah perbuatan yang terpaksa terjadi dan bukan
atas pilihan atau kehendaknya.
Kita harus bertanggung jawab atas perbuatan
kita yang merupakan hasil dari kehendak bebas kita, dan kita tidak akan dihukum
atas perbuatan yang terjadi tanpa pilihan kita.
Hubungan antara penciptaan Allah dan perbuatan
hamba memiliki korelasi yang erat.
Allah sebagai Pencipta yang Maha Kuasa telah
menciptakan hamba-Nya beserta seluruh potensi, kehendak, dan kemampuan yang
dimilikinya. Manusia sebagai makhluk Allah memiliki kehendak bebas yang
diberikan oleh-Nya.
Oleh karena itu, manusia adalah pelaku
sebenarnya dari perbuatan-perbuatan yang ia lakukan, karena ia memiliki
kehendak dan kemampuan untuk melakukan tindakan tersebut.
Misalnya, ketika kita melihat sebuah buah yang
tumbuh dari pohon tertentu atau tanaman yang berasal dari tanah tertentu, kita
mengakui bahwa buah atau tanaman itu datang dari sumbernya yang telah
menciptakannya, yaitu pohon atau tanah.
Begitu pula dengan tindakan manusia, ketika ia
melakukan sesuatu, ia adalah pelaku sebenarnya dari tindakan tersebut, namun
tidak dapat dipungkiri bahwa Allah sebagai Pencipta telah memberikan kehendak
dan kemampuan bagi manusia untuk melakukan perbuatan tersebut.
Dengan demikian, tidak ada konflik atau
pertentangan antara syariat Allah dan takdir-Nya. Keselarasan antara keduanya
adalah suatu keajaiban dan bukti dari kebijaksanaan dan kekuasaan Allah sebagai
Pencipta yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa.
Manusia memiliki kebebasan dalam membuat
pilihan dan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka, sementara pada
saat yang sama, segala sesuatu yang terjadi adalah atas izin dan takdir Allah.
Semua ini mencerminkan rahmat dan keadilan-Nya
dalam menciptakan dan mengatur alam semesta serta hamba-hamba-Nya.
Ridha terhadap takdir
Ridha terhadap takdir Allah merupakan hal yang
sangat penting dan merupakan bentuk kesempurnaan ridha dengan rububiyah Allah,
yaitu kesadaran akan keesaan dan kekuasaan-Nya sebagai Pencipta dan Pengatur
alam semesta.
Setiap
mukmin seharusnya merasa ridha dengan ketentuan Allah, karena segala perbuatan
Allah adalah baik, adil, dan penuh hikmah.
Jika seseorang meyakini dengan sungguh-sungguh
bahwa apa pun yang akan menimpanya pasti akan terjadi, dan apa pun yang tidak
akan menimpanya pasti tidak akan terjadi, maka dia akan merasa tenang dan
terbebas dari rasa bingung dan ragu-ragu.
Keyakinan ini akan membawa ketenangan dalam
hidupnya, dan dia tidak akan bersedih atau takut terhadap masa depannya.
Menyadari bahwa ajal sudah ditentukan dan
rezeki sudah diatur oleh Allah, membuat seseorang mampu bersabar menghadapi
berbagai musibah yang menimpanya.
Dia tidak akan tergoda oleh rasa takut yang
dapat memperpanjang umurnya, dan juga tidak akan terpengaruh oleh sikap kikir
yang tidak akan menambah rezekinya.
Semua itu telah ditentukan oleh Allah, dan dia
merasa ridha dengan takdir-Nya.
Akibatnya, dia akan selalu bersabar atas segala
ujian dan cobaan yang dia hadapi. Dia akan senantiasa beristighfar (memohon
ampunan) atas dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dia lakukan.
Dengan
ridha terhadap takdir Allah, dia menggabungkan antara mentaati perintah-Nya dan
bersabar dalam menghadapi segala musibah.
Seorang yang memiliki sikap ridha terhadap
takdir Allah akan menjadi pribadi yang bahagia, memiliki jiwa yang baik, dan
pikiran yang tenang.
Dia akan hidup dengan penuh ketenangan dan
ketentraman, karena dia percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas
kehendak dan kebijaksanaan Allah yang Maha Pengasih dan Maha Bijaksana.
Semua sudah ditakdirkan, apakah kita perlu berusaha?
Mengusahakan sebab atau usaha tidak berlawanan
dengan takdir dan tawakal, melainkan merupakan bagian yang penting dari
pelaksanaan takdir dan tawakal itu sendiri.
Jika takdir Allah telah terjadi, maka seorang
hamba harus merasa ridha dan berserah diri kepada kehendak-Nya.
Namun, sebelum takdir itu terjadi, tugas
seorang hamba adalah berusaha dan mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan
syariat.
Para nabi dan Rasul yang terdahulu juga
mengusahakan sebab-sebab dan sarana-sarana yang diperintahkan Allah untuk
melindungi mereka dari musuh-musuhnya, walaupun mereka diberikan mu’jizat dan
perlindungan khusus dari Allah.
Mereka menunjukkan contoh bagaimana usaha dan
ikhtiar merupakan bagian penting dari iman dan tawakal.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai pemimpin dan teladan bagi umatnya, walaupun memiliki tawakal yang
sangat kuat kepada Allah, beliau juga tidak meninggalkan usaha dan sebab-sebab
yang diperlukan.
Beliau mengajarkan kepada umatnya untuk selalu
berusaha dan berikhtiar sepanjang sebab itu sesuai dengan syariat dan ketentuan
Allah.
Dalam Islam, tawakal bukan berarti menyerah
begitu saja tanpa berusaha, tetapi tawakal adalah mengandalkan dan berserah
diri kepada Allah setelah melakukan usaha yang maksimal.
Dengan berusaha dan mengambil sebab yang benar,
seseorang menunjukkan ketaqwaan dan ketergantungan kepada Allah, sambil
meyakini bahwa hasil akhir dari usahanya ditentukan oleh Allah.
Jadi, mengusahakan sebab dan tawakal adalah dua
hal yang sejalan dan saling melengkapi dalam kehidupan seorang hamba.
Dengan berusaha sesuai dengan syariat dan
mengandalkan Allah dalam setiap hal, seseorang dapat mencapai kesempurnaan iman
dan ketaqwaan.
Dua kehendak
Terdapat dua macam iradah (kehendak) yang perlu
kita pahami:
1. Iradah Kauniyah Qadariyah
Iradah ini mencakup segala yang ada dalam alam
semesta. Semua yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi.
Iradah ini merupakan ketetapan-Nya atas segala
hal yang ada di alam semesta dan menjadi bagian dari takdir dan takdir-Nya yang
telah ditentukan sejak azali (sebelum penciptaan langit dan bumi).
Iradah ini memastikan terjadinya apa yang
dikehendaki oleh Allah, tetapi tidak berarti hal tersebut pasti dicintai dan
diridhai oleh-Nya, kecuali jika berhubungan dengan Iradah Syar'iyyah.
2. Iradah Syar'iyyah
Iradah Diniyah Syar'iyyah atau Iradah Syar'i
adalah kecintaan, ridha, dan kehendak terhadap suatu perbuatan atau tindakan
yang sesuai dengan ketentuan syariat (hukum Islam).
Iradah ini terkait dengan perintah dan
larangan-Nya yang terdapat dalam syariat Islam. Allah memberikan panduan,
aturan, dan hukum bagi umat-Nya melalui syariat-Nya.
Iradah Syar'iyyah adalah kehendak Allah yang
menghendaki agar manusia mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Allah menginginkan manusia untuk memilih taat
kepada-Nya dan menjauhi maksiat sesuai dengan kehendak-Nya.
Kesimpulannya, Iradah Diniyah Syar'iyyah mencakup kecintaan
dan ridha terhadap perbuatan yang sesuai dengan ketentuan syariat.
Sementara Iradah Kauniyah adalah kehendak Allah
yang mencakup semua yang terjadi di alam semesta.
Keduanya bisa berjalan bersama-sama, namun
tidak selalu setiap yang dikehendaki Allah secara kauniyah berarti dikehendaki
juga secara syar'i.
Meskipun Allah menghendaki terjadinya
kemaksiatan dalam takdir-Nya, namun Allah tidak menyukai dan tidak meridhai
kemaksiatan tersebut.
Allah tidak memerintahkan untuk berbuat
maksiat, bahkan Dia membenci dan melarangnya, serta mengancam pelakunya dengan konsekuensi
dan hukuman yang adil.
Pahala dan balasan baik dari Allah diperuntukkan bagi mereka yang mentaati perintah-Nya, dan siksa diancamkan bagi pelaku kemaksiatan yang mencabut diri dari ketentuan syariat.
Beralasan dengan Takdir.
Takdir termasuk pengetahuan Allah yang bersifat
gaib tentang segala sesuatu yang akan terjadi di alam semesta.
Hanya Allah yang mengetahui taqdir secara
pasti, dan tidak seorang pun di antara makhluk-Nya yang memiliki pengetahuan
yang sempurna tentangnya.
Karena takdir adalah ilmu Allah yang tidak
dapat dijangkau oleh manusia, tidaklah tepat bagi seseorang untuk berhujjah
atau berdalil dengan taqdir sebagai alasan untuk meninggalkan amal atau
tindakan yang baik.
Sebagai makhluk yang beriman, kita
diperintahkan untuk berusaha dan beramal sesuai dengan petunjuk-Nya. Manusia
memiliki kebebasan berkehendak dan tanggung jawab untuk bertindak, namun hasil
dan akhir dari perbuatan kita tetaplah dalam kekuasaan Allah.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk
memiliki keyakinan dan tawakal kepada Allah, sambil tetap berusaha dan beramal
yang baik.
Kita harus menghindari sikap fatalistik yang
hanya mengandalkan takdir semata tanpa melakukan upaya dan tanggung jawab dalam
kehidupan ini.
Sebaliknya, kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh,
berdoa, dan bertawakal kepada Allah atas segala hasil yang akan terjadi.
Dengan cara ini, kita dapat menjalani kehidupan
dengan penuh rasa syukur, ikhlas, dan tawakal kepada kehendak-Nya yang Maha
Bijaksana.
Takdir tidak boleh dijadikan alasan untuk
melegitimasi kejahatan atau kesalahan yang dilakukan oleh seseorang.
Taqdir adalah pengetahuan Allah tentang segala
sesuatu yang akan terjadi, tetapi itu bukanlah alasan atau pembenaran untuk
melakukan tindakan yang buruk atau melanggar hukum.
Takdir tidak dapat digunakan sebagai dalih
untuk melakukan kezaliman atau kejahatan lainnya.
Allah menciptakan manusia dengan kebebasan
berkehendak dan memberikan petunjuk serta perintah agar mereka berbuat baik dan
menjauhi kejahatan.
Allah juga telah menetapkan batas-batas hukum
yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan mereka.
Orang yang berbuat dzalim atau melanggar hukum
tetap bertanggung jawab atas perbuatan mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah
memberikan panduan yang bijaksana tentang beralasan dengan takdir.
Beliau menyatakan bahwa setiap individu harus
berusaha dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan perbuatan baik sesuai dengan
kehendak dan kemampuan yang telah ditentukan untuknya dalam takdir.
Jadi, meskipun takdir Allah telah menentukan
nasib setiap orang, hal itu tidak menjadi alasan untuk malas atau tidak
berusaha.
Sebaliknya, setiap orang tetap diharapkan untuk
melakukan amal shaleh dan berusaha melakukan perbuatan baik sepanjang hidupnya.
Jika seseorang telah ditakdirkan untuk kebahagiaan,
Allah akan memudahkan jalannya untuk melakukan amal yang mendatangkan
kebahagiaan.
Dan jika seseorang telah ditakdirkan untuk
kesengsaraan, Allah akan memudahkan jalannya untuk melakukan amal yang mungkin
mendatangkan kesengsaraan.
Dengan demikian, panduan ini mengajarkan bahwa
setiap orang harus bertanggung jawab atas perbuatan dan amalannya, serta
berusaha melakukan kebaikan dengan sungguh-sungguh.
Meskipun takdir Allah telah ditentukan
sebelumnya, tetapi hal tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab dan
kewajiban kita untuk berusaha dan bertindak dengan benar.
----------
Referensi: Arkanul Iman Jamiah
Islamiyah Al-Madinah Al-Munawarah
Sumampir, malam yang hening.
Selasa, 27 Safar 1445H/12
September 2023
by: Panewu Tunggul Alam
----------
0 Komentar