Ketika air tinggal lama di suatu
tempat, maka bisa mengalami perubahan dalam warna, rasa, atau bau. Ini disebut
sebagai "air 'ajin"
Jika warna kekuningan yang
mengotori air tersebut disebabkan oleh tempatnya yang menetap di dalamnya, maka
hal itu tidak mempengaruhi kesuciannya, sehingga boleh digunakan untuk bersuci,
baik wudhu, mandi, maupun lainnya.
Banyak ulama yang menyatakan
bahwa air yang berubah karena sesuatu yang melekat padanya, lama disimpannya,
atau diamnya, dianggap sebagai air suci.
Perubahannya tersebut tidak
menghalangi untuk bersuci dengannya, karena hal itu merupakan hal yang umum
terjadi, sehingga sulit untuk menghindarinya, dan menyulitkan untuk menjaga air
darinya.
Dalam kitab "Manar
As-Sabil" disebutkan, "Air yang mengalami
perubahan karena tinggal lama, seperti air 'ajin, menurut Ibn Al-Mundhir,
disepakati oleh mayoritas ulama bahwa wudhu dengan menggunakan air 'ajin masih
sah, kecuali Ibn Sirin.
Demikian pula, air yang berubah
dalam wadah dari kulit atau tembaga adalah boleh digunakan untuk wudhu. Hal ini
karena para sahabat sering bepergian dan kebanyakan bejana mereka terbuat dari
kulit, yang biasanya mengubah sifat air. Namun, mereka tidak bertayamum dengan
air tersebut. Hal ini disebutkan dalam syarah kitab tersebut.
“Air ini suci meskipun berubah,
karena perubahannya bukan karena campuran dari luar, melainkan karena lama
disimpannya di tempat ini. Hal ini tidak masalah, dan boleh digunakan untuk
wudhu, dan wudhunya sah.” (Majmuk Fatawa wa Rasail Usaimin: 11/88)
“Air yang mengalami perubahan
karena lamanya tinggal dan keberadaannya tetap di tempat tersebut, maka air
tersebut masih dianggap suci menurut kesepakatan para ulama.” (Fatawa Kubra
Ibnu Taimiyah: 1/6)
Wallahu A’lam.
--------
Sumampir, Kamis 27 Rabiul Awal 1445 H/12 Oktober 2023 M.
Oleh: Panewu Tunggul Alam
--------
0 Komentar