Sekuntum Bunga Pujian dan Duri Kebencian

 

Dalam perjalanan hidup yang tak terhindarkan, manusia seringkali terperangkap dalam permainan pujian dan celaan. Sebuah seni yang melibatkan interaksi sosial, begitu kompleks dan sarat makna.

Pujian, bagaikan matahari yang memancarkan cahaya, mampu menyinari hati kita, menghangatkan jiwa, dan merasakan kebahagiaan di antara semesta.

Namun, pujian manusia, itu semu. Ketika cinta memayungi, pujian akan menghiasi kita dengan sejuta nuansa indah. Akan tetapi, ketika kebencian menyelubungi, kebencian bisa merobek jiwa dan membawa kita ke dalam jurang kelam yang lebih dalam dari yang pernah kita bayangkan.

Pujian manusia, bagai bunga yang mekar di musim semi, memberikan sentuhan hangat pada hati yang sedang gundah. Namun, seperti bunga yang layu ketika musim berganti, pujian juga bisa cepat pudar dan hilang.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali mengejar pujian, ingin diakui, dan dicintai oleh orang lain. Namun, kita perlu ingat bahwa pujian adalah sesuatu yang fana dan lewat, seperti awan yang berlalu di langit biru.

Dalam euforia pujian, kita sering lupa bahwa pujian itu hanyalah refleksi pandangan orang lain terhadap kita. Ia tidak menentukan nilai sejati diri kita.

Bila mata manusia menghiasimu dengan sejuta sanjungan, jangan biarkan hatimu terbuai. Ketika kita dicintai dan dipuji, kita sering kali merasa di atas angin.

Kita merasa bahwa kita adalah pusat dunia, kita adalah bintang yang bersinar paling terang di langit malam.

Namun, kesombongan adalah akar penyakit yang bisa meracuni jiwa. Ketika kita terlalu percaya pada pujian, kita menjadi terlalu egois, lupa pada kerendahan hati, dan mulai menganggap diri kita lebih besar dari yang seharusnya.

Seiring waktu, pujian manusia bisa menjadi sebuah jerat yang membelenggu. Kita mulai hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain, bukannya meraih impian dan potensi sejati kita.

Ini adalah tali yang melingkar erat di sekitar kita, membuat kita merasa terjebak dalam peran yang tidak sesuai. Saat itulah kita menyadari bahwa pujian sejati harus datang dari dalam diri kita sendiri.

Kita harus belajar untuk mencintai dan menghargai diri kita sendiri tanpa harus bergantung pada pujian orang lain.

Di sisi lain, ketika manusia benci, mereka bisa membuatmu merasa lebih buruk dari apa yang ada dalam benakmu. Kejamnya celaan, seperti badai yang menghantam, bisa merusak segalanya.

Celaan adalah kata-kata tajam yang mengiris jiwa, meracuni pikiran, dan meruntuhkan harga diri. Saat kita menjadi sasaran kebencian, kita seringkali merasa hancur, hilang kepercayaan diri, dan merasa rendah.

Namun, meski celaan bisa melukai, kita harus ingat bahwa kata-kata itu hanya memiliki kekuatan jika kita meresponnya. Kita bisa memilih untuk meresapi celaan itu, menggali pelajaran dari kritik yang membangun, atau kita bisa memilih untuk membiarkannya berlalu begitu saja.

Celaan bisa menjadi cermin yang menggambarkan ketidaksetujuan orang lain terhadap kita, namun itu tidak harus menggambarkan nilai sejati diri kita.

Dalam kebencian, kita sering menemukan kesempatan untuk berkembang. Kritik bisa menjadi cambuk yang mendorong kita untuk menjadi lebih baik, lebih kuat, dan lebih tangguh.

Itu seperti api yang membakar emas, memisahkan yang berharga dari yang tak berarti. Saat kita bisa mengekstraksi pelajaran berharga dari celaan, kita tumbuh dan berkembang menjadi versi yang lebih baik dari diri kita.

Sejatinya, manusia adalah makhluk sosial. Kita hidup dalam masyarakat yang penuh dengan interaksi dan hubungan dengan orang lain.

Pujian dan celaan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan kita. Namun, kita tidak boleh membiarkan diri kita terlalu terpengaruh olehnya.

Pujian haruslah menjadi semacam pelengkap yang menghias perjalanan kita, bukan tujuan utama. Dan celaan harus dianggap sebagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.

Dalam menjalani kehidupan ini, penting bagi kita untuk memiliki kepercayaan diri yang kokoh, nilai diri yang kuat, dan integritas yang tak tergoyahkan.

Kita tidak boleh mengizinkan pujian manusia untuk merubah kita menjadi orang yang kita sebenarnya. Begitu pula, kita tidak boleh membiarkan celaan menghancurkan kepercayaan diri kita.

Kita harus belajar untuk tetap rendah hati dalam keberhasilan dan tetap kuat dalam menghadapi kegagalan.

Ketika pujian dan celaan datang, kita harus menerimanya dengan bijak. Kita harus bisa memilah mana yang membangun dan mana yang merusak, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak.

Dalam perjalanan ini, kita juga harus belajar untuk mencintai diri kita sendiri tanpa syarat. Kita harus mengakui kelebihan dan kekurangan kita, menerima diri kita apa adanya, dan merangkul keunikan kita.

Hanya dengan mencintai diri sendiri, kita bisa menghadapi pujian dan celaan dengan damai. Kita bisa melepaskan diri dari permainan eksternal dan menemukan kedamaian dalam diri kita sendiri.

Dalam kisah hidup ini, pujian manusia adalah bagian yang tak terelakkan. Ia  bisa membawa kebahagiaan dan kesenangan, atau celaan yang bisa memicu perasaan terluka dan terhina.

Namun, kita tidak boleh membiarkan pujian dan celaan mengendalikan kita. Kita harus menjadi pembuat keputusan dalam hidup kita, bukan hanya pengejar pujian atau penerima celaan.

Sejuta sanjungan dan celaan mungkin hadir dalam perjalanan hidup kita, namun yang benar-benar penting adalah bagaimana kita meresponnya.

Kita harus tetap teguh pada nilai-nilai kita, tetap rendah hati dalam keberhasilan, dan tetap kuat dalam menghadapi kegagalan.

Pujian manusia itu semu. Mereka bisa menghiasi kita dengan sejuta sanjungan, atau mereka bisa membuat kita merasa lebih buruk dari apa yang ada dalam benak kita.

Namun, dalam segala situasi, kita harus tetap menjadi diri kita sendiri. Kita harus tetap setia pada nilai-nilai kita, menghargai diri kita apa adanya, dan menghadapi dunia dengan keberanian dan kebijaksanaan.

Hanya dengan begitu, kita bisa menjalani perjalanan hidup ini dengan martabat dan kebahagiaan yang sejati.

 

---------

Sumampir, di bawah cakrawala biru siang, harapan mekar seperti bunga.

Rabu, 26 Rabiul Awal 1445 H/11 Oktober 2023 M

By: Panewu Tunggul Alam

 

---------

 

Posting Komentar

0 Komentar